Selasa, Maret 11, 2014

Ceritaku Tentang Rasa *Cerpen Karangan: Eva Kurniasari ( TUGAS KKPI )

Ini cerita tentangku. Cerita tentang senang dan sedihnya aku memendam perasaan. Menyembunyikan rasa sukaku kepada dia. Dia, ya… dia. Orang yang selama ini buat aku terus berharap, walaupun aku tahu semua itu percuma.
Aku nggak pernah mau punya perasaan kaya’ gini. Kenapa semuanya datang tiba-tiba? Kenapa harus dia yang dipilih? Dan beribu pertanyaan kenapa yang nggak bisa kujawab.
Mungkin aku yang terlalu mudah jatuh cinta. Atau mungkin juga aku yang terjebak oleh pesonannya. Entahlah, kalau bisa memilih aku nggak mau rasa ini ada.
Aku nggak tahu kapan pastinya aku mulai suka diam-diam mandangin dia, kapan aku mulai rajin nulis kata-kata puitis yang isinya nama dia, kapan perasaan aneh itu terus menghantui. Aku benar-benar terjebak oleh perasaan nggak jelas ini.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku nggak bahagia dengan perasaan ini. Diam-diam kagum sama seseorang bukan hal yang menyenangkan. Apalagi kalau kenyataannya aku tahu orang itu sama sekali nggak peduli denganku.
Setiap saat aku selalu mikirin cara buat ngelupain dia, menghapus dia dari dalam pikiranku. Tapi selalu sia-sia. Aku nggak bisa. Yang terjadi malah kebalikannya, makin hari, aku makin mikirin dia. Aku sedih mikirin kapan semua perasaan ini berakhir. Aku lelah.
Sebenarnya nggak ada yang istimewa dari dia. Tapi aneh, kenapa dia selalu di pikiranku? Berkali-kali kutepis perasaan itu, perasaan yang buat aku semakin merasa nggak waras.
Aku selalu berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku nggak mau orang-orang tahu kalau aku suka sama dia. Aku memang bukan orang yang terbuka. Yang bisa mudahnya cerita ke siapa aja tentang perasaanku. Lebih baik aku sendiri aja yang tahu. Mungkin lebih baik.
Aku takut kalau dia sampai tahu perasaanku, aku takut dia bakal benci sama aku. Dan aku nggak bisa dengan bebas suka sama dia lagi. Katakanlah aku bodoh, bilang aja aku pengecut atau umpatan lain yang memang cocok buatku. Biar aja, dengan begini aku udah bahagia walaupun kadang nyakitin.
Aku nggak berharap apa-apa dari dia. Nggak masuk akal rasanya kalau aku berharap dia juga suka sama aku. Karena aku tahu, itu hal yang nggak mungkin terjadi. Aku cuma pengen bisa mandangin dia, mengeja namanya dalam hati, dengar suaranya dan ngelihat senyumnya. Itu saja sudah cukup.
Aku tahu, seharusnya aku berani ngelakuin apapun karena aku sedang jatuh cinta. Seharusnya aku nggak segan nunjukin kalau aku suka dan kagum pada dia. Tapi… nggak, aku nggak bisa. Lebih baik aku diam dan menyimpannya rapat-rapat.
“Ke kantin yuk!” Aku tersentak kaget, semua lamunanku buyar.
“Belum lapar,” sahutku malas-malasan. Mia duduk tepat di hadapanku sambil menguyah permen karet.
“Ayolah, rame-rame sama yang lain,” Desak Mia.
“Ya udah, ayo,” Setengah hati aku bangkit dari tempat dudukku.
Aku dan Mia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Nggak tahu kenapa Mia menyuruhku tergesa-gesa.
“Tuh kamu lihat, cowok yang pakai kemeja biru garis-garis. Namanya Nino, anak divisi pemasaran. Teman-temannya ngejodohin aku sama dia. Cakep nggak?” Tanya Mia bertubi-tubi.
Seketika itu juga rasanya aku pengen nangis. Aku baru tahu rasanya sakit hati, rasanya cemburu sama sahabat sendiri. Kenapa mesti dia? Kenapa mesti Nino, orang yang selama ini kusuka.
Mia menarik tanganku menghampiri meja Nino dan teman-temannya. Sorakan menyambut kedatangan aku dan Mia. Mia cuma senyum-senyum. Aku nggak berani mandangin wajah Nino.
“Oya, kenalin ini Aya, temanku,” Aku menyalami mereka satu persatu, sebagian sudah aku kenal karena pernah terlibat kerja bareng. Waktu nyalamin Nino, rasanya seluruh badanku gemetaran. Aku mengulurkan tangan dan disambut Nino dengan cuek, dia sibuk dengan handphonenya.
Sesaat rasanya aku nggak bisa bernafas. Aku duduk nggak tenang, mandangin orang-orang di depanku. Aku nggak tahu aku harus ngapain, pikiran dan hatiku lagi nggak sejalan. Nino duduk sejajar denganku, selang tiga kursi. Aku serba salah.
“Es jeruk kan?” Tanya Mia yang duduk di depanku. Aku mengganguk pelan. Baru kali ini aku ngerasa segrogi ini.
Rasa-rasanya aku bisa menghitung detik-detik yang berjalan lambat. Aku nggak suka dengan keadaan ini. Aku benci dengan teman-teman Nino yang terang-terangan menjodohkan Mia dan dia. Aku cemburu.
Aku terus mengaduk-aduk es jerukku tanpa berminat buat diminum. Di kepalaku dipenuhi bermacam-macam pikiran.
Pagi ini rasanya aku pengen bolos kerja. Awalnya nggak gitu. Gara-gara cerita Mia tentang Nino, aku jadi dongkol. Pagi-pagi sekali Mia sudah menjejaliku dengan cerita tentang Nino.
Sebenarnya yang buat aku sebel bukan cerita tentang Nino, tapi ekspresi muka Mia waktu bercerita. Aku tahu, Mia sudah mulai suka sama Nino.
Kenapa jadi seperti ini? Aku nggak mau ngebayangin apa yang bakal terjadi. Rasanya sudah cukup aku nyembunyiin perasaanku selama ini. Kenapa harus ditambah lagi dengan masalah baru.
Setengah hati aku menekan tombol lift menuju lantai 5, lantai divisi pemasaran. Seharusnya aku nggak ada urusan apa-apa lagi di divisi ini sejak setahun yang lalu. Tapi pak Beni, mantan atasanku dulu selalu aja mengajakku buat diskusi kalau ada proyek baru yang harus mereka tangani. Andai dulu aku nggak minta pindah divisi, mungkin aku dan Nino bisa sedikit akrab.
Suasana lantai 5 hampir kosong melompong, hanya ada beberapa orang di meja mereka, itu pun aku nggak kenal. Mungkin yang lainnya lagi rapat dengan pak Beni.
“Anak HRD kok sampai kesasar disini?” Aku menoleh mencari sumber suara.
“Iya nih, kangen sama lantai 5,” Sahutku tanpa memperdulikan siapa yang mengajakku bicara.
“Cari pak Beni ya?” Kali ini aku benar-benar dibuat hampir nggak bisa bernafas. Nino!
“Eh… iya,” Sahutku gugup. Alhasil aku cuma bisa tersenyum grogi.
“Pak Beni lagi ada tamu. Aku temani deh sampai tamunya pak Beni pulang,” Tawarnya. Lagi-lagi aku cuma membalas dengan senyuman.
Ini benar-benar gila! Badanku serasa membeku. Aku… aku nggak tahu kenapa selalu aja seperti ini kalau berada di dekat Nino. Seharusnya aku senang, ini pertama kalinya Nino mengajakku bicara. Jadi, apa lagi yang aku tunggu?!
“Aku temannya Mia,” Kataku. Aku mengumpat dalam hati setelah sadar apa yang aku ucapkan.
“Mia?” Tanyanya dengan muka bingung.
“Nggak kenal,” Jawabnya singkat. Gantian aku yang kebingungan.
“Bukannya kemarin baru ketemu di kantin?”
“Oooo… namanya Mia ya. Hahahaha!” Dia tertawa. Aku semakin nggak mengerti jalan pikiran lelaki ini.
“Oya, aku Aya,” Kataku akhirnya. Lagi-lagi dia tertawa. Rasanya aku nggak ada bicara hal-hal yang lucu. Aku menatapnya dengan bingung.
“Hahahaha…! Kaya’nya kemarin kita udah kenalan deh,” Dia tertawa lagi.
Kenapa setiap kali berhadapan dengan Nino, pikiranku selalu terasa buntu. Rasanya aku benar-benar tergila-gila dengan dia.
“Tadi Mia nanyain kamu,” Kataku pelan.
“Dari tadi kamu ngomongin Mia terus,” Balas Nino sambil tertawa.
Entahlah, kenapa rasanya bodoh sekali jalan yang aku ambil. Kupikir dengan membicarakan Mia di depan Nino, setidaknya ada kesempatan buatku bisa bersama Nino. Tapi, kenapa rasanya sakit sekali ya.
“Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau cewek seperti Mia itu masuk kriteria cewek yang kamu suka,” Balasku.
“Emang sih,” Jawabnya singkat dan lagi-lagi Nino tertawa. Aku terdiam dan rasanya pengen menangis.
“Tapi entah kenapa rasanya aku nggak suka aja kamu ngebahas soal Mia,” Lanjut Nino.
“Kenapa? Ada yang salah dari ceritaku tentang Mia?”
“Bukan itu masalahnya,” Lama Nino terdiam. Aku menatap Nino sekilas, sampai saat ini aku masih belum punya keberanian buat menatapnya lebih lama.
“Sini, ada yang mau aku tunjukin,” Aku mengikuti Nino menuju lift. Dia menekan tombol lantai 5.
Nino membawaku ke meja kerjanya. Aku tersenyum sendiri, ternyata meja kerja yang digunakan Nino sekarang adalah meja kerja yang dulu pernah aku gunakan.
“Ini dulu meja kerjaku,” Kataku. Nino seperti nggak mendengarkan apa yang aku bicarakan. Dia menyalakan komputer dan tampak sibuk sendiri.
“Ini alasanku kenapa aku nggak suka kamu membicarakan soal Mia,” Kata Nino sambil menatapku.
Nino memasukkan password sebelum login ke komputernya, setelah beberapa detik muncul wallpaper yang nggak asing buatku. Objek foto itu seorang perempuan yang membelakangi kamera. Dan aku tahu dengan pasti siapa objek itu. Itu aku.
“Belum ada yang bisa gantikan dia dari pikiranku. Aku rasa, dia nggak bakal tergantikan,” Nino tersenyum sambil menatapku.
END
Cerpen Karangan: Eva Kurniasari
Blog: vadeliciouslife.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar